Mahalnya Kursi Senayan!

Mahalnya Kursi Senayan

Perjalanan memperebutkan kursi di Senayan untuk menjadi anggota DPR RI tidaklah mudah. Penuh liku dan pengorbanan. Tidak hanya waktu dan tenaga, tetapi juga uang, terutama bagi mereka yang mewakili partai besar yang kemungkinan jadinya juga besar.

Pada pemilu-pemilu sebelumnya, orang yang dekat dengan elite partai bisa dengan mudah duduk di Senayan, tak peduli berduit atau tidak, dipilih rakyat atau tidak. Namun pada Pemilu 2004 ini, orang yang mau menjadi mencicipi empuknya kursi di Senayan harus berjuang mengerahkan segala sumber dayanya karena sistem pemilu memungkinkan seorang calon legislatif (caleg) dipilih langsung (baca: Memperebutkan Caleg, hal. 8).

Semua caleg yang mau bertarung pada Pemilu 2004 harus mengeluarkan dana dari koceknya. Pengalaman setiap caleg memang tidak seragam. Ada yang mengaku sudah menghabiskan ratusan juta, namun ada juga yang hanya menghabiskan ratusan ribu. Dana itu digunakan untuk macam-macam kepentingan berkaitan dengan pencalonan.

Trimedya Panjaitan, caleg PDI-P dari Sumatera Utara II, misalnya, mengaku hingga kini sudah mengeluarkan Rp 200-300 juta. Uang itu bukan untuk pengurus DPP dan DPD PDI-P, tapi untuk pengembangan partai. “Kalau untuk mengembangkan partai saya bersedia mengeluarkan dana. Tetapi kalau untuk kepentingan orang per orang, baik di DPP maupun di DPD, saya pasti tidak memberikan,” kata pengacara yang juga anggota Komisi II DPR itu.

Menurut Trimedya, dana yang dikeluarkannya itu untuk berbagai kebutuhan, mulai dari mendirikan pelang-pelang papan nama kantor partai yang sudah rusak, ongkos menjalankan roda organisasi DPC dan PAC, menyelenggarakan diskusi internal dan eksternal, temu kader, bakti sosial, menyediakan sembilan bahan pokok, sampai membantu pengurus partai yang masih tinggal di rumah kontrakan, dilakukannya.

“Di sinilah dibutuhkan ongkos yang sangat besar. Untuk menggerakkan dan menjalankan roda organisasi di sebuah DPC saja dibutuhkan anggaran yang cukup besar. Hingga Desember (2003), saya sudah menghabiskan Rp 200-300 juta,” katanya. Jumlah itu belum termasuk ongkos pergi pulang Jakarta-Medan.

Sistem Pemilu

Caleg Partai Golkar mewakili dari daerah pemilihan Nusa Tenggara Timur (NTT) II, Victor B Laiskodat, juga mengakui bahwa untuk menjadi anggota DPR RI saat ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Mahalnya biaya itu, menurut pengusaha yang kini banyak bergerak di sektor kelautan itu, terkait erat dengan sistem Pemilu 2004 yang berbeda de-ngan pemilu-pemilu sebelumnya.

“Dengan sistem pencalonan yang dibagi dalam zona-zona pemilihan, para caleg harus berkampanye ke lebih dari satu kabupaten. Hal ini otomatis membutuhkan dana yang lebih besar dari sistem pemilu sebelumnya, di mana caleg hanya perlu berkampanye di satu kabupaten saja,” katanya.

Victor mengungkapkan, kegiatan sosialisasi merupakan komponen yang paling banyak menyerap dana. Berbagai macam aksesori kampanye seperti kaus, jam tangan, kalender, bendera, dan sejumlah atribut partai lainnya telah disiapkannya dan segera dikirim ke zona yang diwakilinya.

“Jujur saja, saya pribadi menyiapkan dana cukup banyak untuk keperluan tersebut,” ujar mantan cagub NTT ini tanpa memerinci lebih jauh. Ia juga menolak berkomentar soal berapa besar dana kontribusi seorang caleg untuk DPP, DPD I, dan DPD II Golkar. “Saya kira hal ini kurang etis untuk dibicarakan. Kalaupun ada, saya yakin sifatnya sukarela, bukan paksaan atau kewajiban,” ujar Victor.

Hal senada diakui pula oleh pengacara Ruhut Sitompul, caleg Partai Golkar dari daerah pemilihan Jawa Barat. “Soal biaya yang cukup besar, itu memang konsekuensi sebuah perjuangan. Tapi, dalam partai kami bukan berarti caleg yang berkualitas tetapi tak punya uang tak bisa menjadi caleg,” tutur Ruhut. Menurutnya, dalam partainya dikenal asas seimbang, serasi, dan selaras. “Caleg yang tak punya uang, tetapi punya kualitas tetap diusulkan jadi caleg dengan bantuan kawan-kawan,” ujar Poltak Si Raja Minyak ini.

Biaya Sosialisasi

Tommy Sihotang, caleg Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK) dari Jawa Barat, mengemukakan, sistem pemilu sekarang memerlukan biaya yang cukup tinggi bagi seorang caleg. Bukan saja biaya untuk memenuhi persyaratan administratif dari KPU maupun partai, tetapi biaya yang sangat tinggi sangat dibutuhkan untuk menyosialisasikan diri seorang caleg agar dikenal oleh konstituennya kelak.

Menurut Tommy yang pengacara beken ini, sosialisasi diri seorang caleg sangat membutuhkan improvisasi. “Sampai saat ini memang saya belum mengeluarkan biaya yang sangat tinggi, tetapi boleh jadi pada Maret mendatang semua caleg akan jor-joran melakukan sosialisasi kepada konstituen di daerah pemilihannya,” ungkapnya.

Tommy belum bisa memprediksi berapa biaya yang akan dia keluarkan. Meski demikian, saat ini ia sudah mulai mondar-mandir ke daerah pemilihannya, seperti Bekasi dan Bandung, dan mengeluarkan biaya yang lumayan untuk membuat kartu anggota, spanduk, dan lain-lain. “Biaya yang saya keluarkan ini masih digunakan untuk menggerakkan partai secara internal,” katanya.

Pengakuan senada dilontarkan Saleh Husein, caleg PAN dari wilayah pemilihan Jawa Barat. Menurut pengusaha nasional ini, dirinya sudah melakukan persiapan menjadi caleg sejak setahun lalu, dan untuk itu sudah banyak dana yang dikeluarkannya. “Untuk sosialisasi figur dan pembuatan atribut partai saja saya menghabiskan dana yang cukup besar,” ujar Saleh yang enggan menyebutkan angka pastinya.

Terkuras dan Gagal

Memang tidak mudah mendapat kursi di Senayan. Sudah mengeluarkan banyak dana pun belum tentu bisa lolos sekadar menjadi caleg. Pengalaman Samuel Lobo, calon tunggal anggota DPR yang dikirim oleh DPC PDI-P Kabupaten Sumba Timur, NTT, mungkin bisa menjadi contoh.

Karyawan sebuah perusahaan besar di Jakarta ini sudah mengeluarkan banyak dana dan waktu, tapi tidak juga tembus sebagai caleg resmi yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). “Kalau dihitung-hitung total sudah sekitar Rp 200 juta yang saya habiskan untuk konsolidasi dan sosialisasi ke daerah,” ungkapnya.

Namun Samuel mengaku tidak terlalu kecewa karena dia sadar bahwa berpolitik identik dengan dana, dan kegagalan adalah salah satu konsekuensinya. “Tapi yang masih mengganjal perasaan saya hingga kini adalah transparansi dari DPP PDI-P dalam penetapan nama caleg. Karena, ada calon yang tidak pernah dicalonkan oleh daerah, tapi masuk dalam daftar resmi di KPU, padahal mekanismenya mewajibkan itu,” ujarnya prihatin.

“Yang lebih mengecewakan lagi sampai saat ini saya tidak pernah diberi tahu secara resmi oleh DPP bahwa saya tidak masuk dalam nominasi resmi caleg ke Senayan, padahal saya sudah menempuh semua prosedur administrasi,” tambah Samuel yang sudah bergerilya mempersiapkan diri menuju Senayan sejak lima tahun silam.

2 Komentar

  1. Terimakasih atas tanggapannya, salam dari saya wilbigud. MERDEKA !!!!!

  2. Terima kasih kembali, senang bisa membantu anda 🙂


Comments RSS TrackBack Identifier URI

Tinggalkan komentar